Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, S.H., M.H., M.Kn
Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, S.H., M.H., M.Kn
HUKUM | ILMU HUKUM
6346 viewers
Si Badung yang Penuh Kejutan, Pencetus Rebranding Koperasi

Nama DrDewi Tenty Septi Artiany, S.H., M.H., M.Kn, atau yang akrab disapa Teh Dete,  di kalangan praktisi kenotariatan dan dunia perkoperasian Indonesia, sudah tak asing lagi. Dete aktif menyosialisasikan istilah rebranding koperasi, pemerhati koperasi, UMKM dan Ekonomi Kreatif Penggerak kegiatan UMKM Alumni Unpad. Saking gencarnya dan konsisten menyosialisasikan koperasi, khususnya penggunaan merek kolektif (one brand) untuk koperasi, alumni 3 perguruan tinggi terkenal di Indonesia (Unpad, UI, UGM) ini pun mendapat penghargaan, wajahnya terpampang di majalah Women Obsession. Dete menjadi “17 Perempuan Tangguh 2019” versi Women Obsession.

Kecintaannya pada hal-hal yang berbau ekonomi kerakyatan bisa jadi dipengaruhi oleh pergaulan masa kecilnya. Dete terkenal nalaktak (badung), cuek, jarang mandi, dan dekil. Dia suka berpetualang keluar-masuk kampung, masuk ke kali, naik truk, atau naik gerbong kereta api. Tapi dia juga aktif di Pramuka, menyukai kamping dan pernah ikut jambore di tingkat Jawa Barat sebagai peserta termuda saat itu. Ketika kuliah di Unpad,  tercatat sebagai aktivis organisasi kampus, sering diminta untuk mewakili universitas di berbagai acara seperti Pelatihan Kepemimpinan Perempuan (KnPI), pers mahasiswa Indonesia, dan menjadi mahasiswa teladan/berprestasi. Kecerdasan dan sifat jujurnya, kelak membawa Dewi Tenty menjadi orang sukses.

Dewi Tenty adalah anak ke 5 dari 6 bersaudara, lahir dari seorang Bapak bernama Sumarya Utoyo,  seorang dokter umum dan dosen di Fakultas Kedokteran Unpad, sedangkan ibunya, Louise Feenstra (indo Jawa-Belanda) adalah ibu rumah tangga.

Dete tinggal di kawasan Gunung Batu, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Cicendo, Bandung (perbatasan Cimindi). Ayahnya merupakan anak tunggal yang mewarisi tanah cukup luas di wilayah Pasir Kasih dan Rajamandala. Rumahnya pun cukup besar dengan halaman yang sangat luas. Maka tak heran TK. Burung Nuri yang didirikan ibunya tahun 1974  di halaman rumahnya yang bekerjasama dengan Bhayangkari, menjadi sekolah pertamanya di masa anak-anak.

Selepas TK, Dete masuk sekolah dasar yang dekat dari lingkungan rumah, SD Dian namanya, sebuah SD negeri. Dari sini, ada kisah lucu dan mengagetkan.

Dete yang sudah duduk di kelas 3 SD ternyata belum bisa membaca. Bahkan guru dan orang tua pun baru mengetahuinya. Ayahnya terkejut saat mengajak Dete membaca cerita Dewi Manusia Ikan di Majalah Bobo. “Hanya ba-bi-bu sambil plonga-plongo,” kenang Dete menirukan ucapan sang Ayah. Merasa heran bukan kepalang, sang Ayah berteriak ke ibunya: “Mooishe, ini anakmu kenapa gak bisa membaca?”

Namun kala itu, Dete memiliki kemampuan mengingat yang kuat dan cepat menghafal, karena itulah ia bisa naik kelas. Dete diuntungkan oleh keadaan karena zaman dahulu sistem pendidikan Indonesia hanya menghafal “Ini ibu Budi, ini bapak Budi. Ibu Wati pergi ke pasar…” dan seterusnya. Guru mencontohkan lalu diulang-ulang sepanjang pelajaran sehingga ketika dites, Dete selamat karena kemampuan ingatannya, bahkan teman sekelas dan guru menganggap Dete anak pintar. Namun ayah dan ibunya ingin berkeputusan fair, mereka melaporkan temuannya ke guru sekolah dan menyampaikan bahwa Dete belum bisa membaca. Harapannya agar dibimbing dan diajarkan.

Syahdan, nilai membaca Dete yang semula bagus menjadi merah. Dari peristiwa itu Dete menghikmahinya bahwa “terkadang jika kita tidak tahu, tapi sok tahu, orang bisa menilai kita banyak tahu, jadi, banyak orang yang bisa dikelabuhi.”

Sejak itu, Dete menjadi aktif di kegiatan pramuka hingga SMP. Ia melanjutkan kegiatan kepanduannya, hampir tiap minggu mengikuti perkemahan Sabtu-Minggu (persami), termasuk Jambore, kegiatan hiking dan outdoor lainnya.

Di pramuka itulah Dete mendapat godokan dari kakak-kakak pembinanya. Hampir tiap minggu atau dua minggu sekali ikut hiking, rally, baris-berbaris, dan BLA (Bandung Lautan Api – gerak jalan napak tilas). Ia bersama teman-temannya sering juara, menyumbang piala ke sekolah. Meskipun terkenal sebagai Dete nu tara mandi (Dete yang tak pernah mandi), dia termasuk siswa berprestasi, sering mengharumkan nama sekolahnya.

Dete tak bisa diam, selalu aktif bergerak tiap hari, jika tidak, ia merasa badannya pegal. Naik truk, gerbong kereta api, bermain di kali, sudah jadi kesehariannya. Tak heran kulitnya menjadi legam, hideung kapoe panonpoe (hitam terbakar matahari). Apalagi Dete jarang mandi, tak suka bersolek. Orang sunda bilang, kuleuheu (dekil/kucel). Itu yang membuat teman-teman masa kecilnya heran melihat penampilan Dete sekarang, jadi geulis dan rada bodas (jadi cantik dan agak putih kulitnya).

Tibalah ia memasuki jenjang SMA. Sebenarnya Dete bisa saja sekolah di Bandung apalagi jarak rumahnya tak begitu jauh dengan Kota Bandung, tapi sang Ayah tak mengizinkan Dete keluar dari Kota Cimahi. Alasannya, khas seorang ayah, hariwang (khawatir) putri badungnya jauh dari pengawasan. Bersekolahlah ia di SMAN 2 Cimahi.

Di SMAN 2 Cimahi lumayan juga prestasinya. Ia ikut Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru—Sipenmaru tahun 1983-1989), menjadi salah satu dari 3 siswa yang diterima di Universitas Padjadjaran. Dete dan satu temannya masuk di Fakultas Hukum, satu lagi di Sastra Jerman.

Sebenarnya Dete ingin mengambil jurusan Antropologi sebab dia bercita-cita ingin menjadi seperti Indiana Jones (tokoh fiksi doktor antropolgi) tapi sang Ayah lagi-lagi melarangnya dengan alasan masa depannya akan suram. Jadilah Dete mendaftar ke Fakultas Hukum sesuai saran ayahnya dengan harapan bisa mengurus dan melindungi tanah keluarga yang sangat luas, warisan dari kakeknya.

Dikuburlah keinginan Dete menjadi antropolog. Ayah dan ibunya girang bukan main ketika membaca di koran ada nama anaknya sebagai siswa yang lolos sipenmaru Fakultas Hukum Unpad. Tapi Dete malah cuek. Ya, begitulah Dewi Tenty dengan segala keunikannya.

Saking cueknyaia nyaris dicoret, dianggap mengundurkan diri karena tak mendaftar ulang, untung saja sehari sebelumnya, Martha, kawan SMA-nya, yang diterima di Sastra Jerman Unpad datang ke rumah lalu memberi tahu. Dete sangat berterima kasih pada Martha. Nomor induk mahasiswanya adalah A1088159, termasuk nomor paling buntut.

Sifat acuh tak acuhnya akan penampilan terbawa sampai perguruan tinggi. Suatu hari sebelum ospek (Orientasi Studi Pengenalan Kampus), Dete dikerjain temen-temennya. Rambutnya dikepang, lalu disemprot zat kimia, alhasil rambut Dete jadi gimbal mengembang, kribo. Esok harinya, ketika ospek, temen-temen yang harus dikenalnya malah menjauh, garilaeun, entah takut atau heran melihat penampilan Dete. Tapi dasar Dete si cuek, ia santai melenggang, “emang gue pikirin”. Akhirnya, selama ospek, hanya ada 5 orang yang mau berteman dengannya.

Setelah ujian tengah semester pertama, Dete meraih nilai 94 di salah satu mata kuliah, yang tertinggi, sementara teman-temannya ada yang meraih nilai 20. Dari itu, Dete mulai dilirik, teman-teman mendekatinya, ingin berkenalan sambil meminjam catatan untuk dikopi. Dan anehnya, semasa kuliah, ketika orang menjauhi dosen yang dianggap susah nilai dan pelajarannya, Dete malah mencari dosen semacam itu, dia malah berikan buku oleh dosen-dosen itu sebagai reward karena nilainya paling bagus. Seperti Ibu Wulan Sutanti dan Pak Man Suparman.

Seperti di sekolah menengah, di kampus pun Dete aktif berorganisasi. Ketika itu, Dete satu-satunya perempuan yang jadi ketua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) tingkat universitas, Komappi (Kelompok Mahasiswa Pengkaji dan Pengembangan Ilmu), menjadi wakil pemred majalah fakultas hukum bernama Vonis, hingga sering diberkan tugas luar oleh Pembantu Rektor III, Pak Kusdiono dan Pak Himendra; berangkat ke UGM menghadiri pertemuan pers mahasiswa Indonesia atau acara Perempuan Pemimpin Indonesia (KnPI). Dalam kegiatan itu Dete tak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban karena telah langsung diekspos di koran, tinggal dikliping saja.

Jadi sudah sejak mahasiswa, Dete sering masuk pemberitaan di koran. Walau aktif di berbagai kegiatan kampus, Dete tak melupakan kewajiban utamanya yaitu belajar dan kuliah. Maka tak heran kalau tahun 1990-1991 ia menjadi mahasiswa berprestasi nomor 1 di Fakultas Hukum dan  Juara 2 di universitas. Juara 1 di tingkat universitas saat itu adalah Keri Lestari dari Farmasi – FMIPA yang kini menjadi guru besar Farmasi Unpad. Saat itu Dete membawakan tema Jaminan Atas Saham.

Lucunya, ketika menjadi mahasiswa berprestasi di Fakultas Hukum, IPK-nya paling kecil dibanding  juara 2 dan 3, hal itu jadi bahan gunjingan di antara teman-temannya. Tapi untunglah banyak dosen yang membelanya secara obyektif, “Kalau Si Dete itu orangnya banyak diam di rumah dan perpustakaan seperti juara 3, pasti IPK-nya 4.0”.                        

Ukuran penilaiannya memang bukan hanya nilai IPK tapi aktif di luar dan di dalam kampus juga. Dete pun sampai ditanya masalah pribadi, apa punya pacar atau tidak. Dete menjawab, “punya”. “Coba kalau tidak punya kabogohdia pasti IPK nya 5.0, mereunan”.

Memang Dete bukan kutu buku, kuliahnya dijalani dengan santai tapi serius, punya pacar, iya, dugem, ayo. Satu-satunya yang jarang ia lakukan adalah mandi, hingga terkenal sebagai Dete nu tara mandiIPK yang didapat adalah murni, Dete juga tak pernah remedial, hingga di ijazahnya ada nilai D tak dia perbaiki, sebagai kenang-kenangan, nilai pemberian dari dosen muda yang dia tolak cintanya. Di masa-masa PDKT, sang dosen memberi nilai A, ketika cintanya dikandaskan Dete, diganjarlah nilai D.

Lain lagi kisah saat yudisium. Seorang teman meraih 155 SKS melebihi dari yang sudah ditetapkan sebagai prasyarat menmpuh sidang sarjana. Dete mengolok-olok temannya itu terlalu rajin karena rata-rata hanya 150 SKS. Bumerang bagi Dete, saat dipanggil dan mengambil yudisium, jumlah SKS-nya 160, melampaui semua temannya. Sebabnya, Dete sejak awal mengambil program studi Hukum Tata Negara, tapi kemudian berpindah ke perdata sesuai keinginan ayahnya, jadilah SKS-nya terbanyak. Jika IPK-nya ingin besar, hanya tinggal memilih yang menguntungkan dan membuang yang jelek, tapi Dete lebih suka melihat SKS-nya yang banyak dan nilainya variatif bak hidupnya yang penuh warna.

Setelah lulus kuliah tahun 1992, yang pertama dilakukan Dete adalah menikah. Menikah karena kalah taruhan bersaing ilmu dengan dosennya. Begini kisahnya:

Dete yang menyukai tantanganketika ditanya wartawan Majalah Kartini, apa yang akan dilakukan setelah lulus, ia menjawab, tak mau nikah sebab kalau nikah berarti dirinya takluk oleh lawan jenis, padahal saat itu Dete sudah memiliki kekasih.

Tak lama kemudian ia bertemu dosennya yang mengajar sosiologi, Bu Joice. Dalam pertemuan itulah Dete diajak beradu argumen dengan sang dosen dengan taruhan jika kalah, Dete akan bersedia kawin. Meski Dete gemar melahap banyak pengetahuan, termasuk buku referensi tentang Eropa Timur, ia tetap kalah melawan Bu Joice. Dete bingung harus memenuhi janjinya. Sepulang kuliah, dengan outfit khasnya, t-shirt, celana jeans, dan tas ransel, ia teriak ke mamanya: “Mah, aku mau kawin.”

Tingkah polah unik Dete masih berlanjut saat wisuda. Mahasiswa berprestasi ini tak mengikuti wisuda, alasannya pendek saja: “Gak mau pake konde, kayak emak-emak.”

Waktu terus berlalu, jalan hidup yang lucu membawa Dete membuka pintu rumah tangga. Takdir berkata lain, usai 8 tahun menikah dan menjadi ibu rumah tangga, ternyata ia begitu tersiksa. Maklum, orang yang biasanya aktif berkelana, berkegiatan, dan mengeksplorasi banyak hal, hanya diam di rumah, mengurus segala macam persoalan domestik. Teman-temannya bahkan sempat bergunjing, “Tuh, jangan kayak si Dete, pinter-pinter juga gak jadi apa-apa, hanya jadi ibu rumah tangga biasa”, meski itu dijawab Dete dengan kepala dingin, “Kenapa harus apa-apa, menurut saya berdedikasi jadi istri dan jadi ibu bagi sayadalah investasi luar biasa.

Ketika sudah berumah tangga, sebenarnya Dete mendapat beasiswa untuk kuliah S-di Jerman melalui Yayasan Indonesia-Jerman, tapi suaminya tak mengizinkan. Karena masih ingin melanjutkan sekolah, Dete coba mendaftar di magister hukum Universitas Indonesia meski akhirnya tak diambil karena alasan anak-anak yang masih kecil.

Tiba di tahun 1998, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang disusul oleh krisi politik. Demonstrasi mahasiswa meledak dan meluas di penjuru negeri. Sulit menduga bahwa Dete hanya diam saja. Tidak. Dete tak akan bisa diam. Terjunlah ia dalam demonstrasi, berangkat bersama mahasiswa Unpad menuju senayan, Jakarta. Saat di senayan, teman-temannya bisa masuk, malang bagi Dete, ia tak memiliki Kartu Tanda Mahasiswa atau kartu Peradi sebagai syarat memasuki gedung, yang ia punya hanya KTP dengan pekerjaan: ibu rumah tangga. Tak hilang akal, akhirnya Dete bisa memasuki gedung dengan ditarik oleh teman-temannya. Setibanya di rumah, ia merengek dan setengah marah pada suaminya, ingin punya identitas lain selain KTP.

Berhasil lah ia memiliki KTM setelah masuk program notariat Universitas Indonesia, meski di awal, saat ayahnya mengarahkan jadi notaris, kala itu Dete menentangnya dengan berkilah bahwa “notaris mah tukang sablon, teu mikir”. Mendaftarnya Dete di kenotariatan UI sebenarnya hanya agar memiliki KTM, agar bisa demonstrasi. Tapi Dete masih penuh dengan kejutan, kuliahnya diselesaikan hanya 2 tahun (1998-2000), lalu mengikuti penyetaraan di UI lagi (2005-2006) untuk meraih gelar Magister Kenotariatan (M.Kn).

Anak badung yang haus ilmu itu masih belum selesai melahap pengetahuan. Mendaftarlah ia ke program magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2013, dan berhasil meraih gelar Magister Hukum tahun 2015 dengan judul tesis Fungsi Pengawasan di Koperasi Simpan-Pinjam, merespon kondisi obyektif saat itu yang sedang menjamur bank berkedok koperasi simpan-pinjam. Tak puas sampai di situ, Dete berhasil meraih gelar puncak akademisnya di program doktoral Universitas Padjdjaran setelah mempertahankan disertasinya, Merk Kolektif untuk Koperasi (2015-2019) dengan predikat cumlaude.

Dete sudah mulai tertarik pada bidang koperasi ketika pada tahun 2004 ada peraturan yang menyatakan bahwa koperasi harus dibuat aktanya oleh notaris. Sejak itu, ia mengenal jauh lebih dalam tentang koperasi, lalu membuat tesis-tesis penelitian hingga  jadi disertasi. Jadilah Dete seorang notaris dan pemerhati koperasi.

Dari situlah ia mulai mengenalkan cara-cara berkoperasi yang benar pada masyarakat, bagaimana caranya memberikan pengetahuan kepada pemerintah dan masyarakat tentang bentuk  koperasi yang benar. Itu yang terus ia gedor. Konsistensi Dete dalam kehidupan koperasi Indonesia membuat ia dipilih sebagai cover majalah Women Obsession, dan ulas dalam majalah tersebut. Dete berbicara tentang rebranding koperasimembangun citra baru koperasi. Gagasannya tentang rebranding koperasi mendapat perhatian masyarakat koperasi.

Dete memang “penyontek” yang baik, penyontek kebijaksanaan dan kehidupan. Meski agak badung, kejujuran selalu diberi ruang terbaik dalam hidup. Guru di SMA-nya pun sangat percaya dengan kejujuran Dete. Sebagai contoh, ketika ulangan, Dete meraih nilai 4, dan teman-temannya meraih nilai 8, namun justru yang diremedial adalah anak yang meraih nilai 8 karena sang guru tahu mereka menyontek. Sehingga ketika sang guru mengajarkan prinsip kejujuran selalu mengasosiasikannya dengan Dete. Ia selalu haus pelajaran kebajikan, terobsesi dengan sifat baik orang lain dan ingin menirunya. Dete mengumpulkan sebanyak-banyaknya karakter baik dari tiap orang lalu meramunya untuk dijadikan sebagai teladan.

Kini Dete hidup bahagia dengan membesarkan lima anak yang dicintainya, yang tak pernah jeda didoakan. Syahdan, kerja keras dan keuletan Dete membuahkan hasil. Anaknya bertumbuh kembang dengan baik. Muhammad Alirahman lulus sarjana hukum Unpad dan magister UGM, kini berprofesi sebagai lawyer, menikah, memiliki satu anak. Alifa Dewi, anak keduanya, lulusan sarjana UI, meraih gelar M.Kn di UI pula. Anaknya yang ketiga bernama Ashia Zahran, lulusan jurusan bisnis di London, sedangkan Muhammad Otsman adalah seniman dari UMN Jakarta. Anak bungsunya, Athalla Zaki, di Fakultas Hukum UI.

Filosofi Hidup

Dari hal ikhwal perjalanan hidupnya yang begitu kaya pengalaman, Dete berpesan pada anak-anaknya bahwa ia tak peduli dengan hasil karena yang ia pedulikan adalah proses. Selama orang tetap bergerak maju menuju suatu proses, ada harapan lebih baik. Seperti ia dahulu yang tak bisa membaca, tak apa-apa, terus saja belajar, yang terpenting jangan berhenti di satu titik. Harus terus berproses hingga Allah Swt. menghendaki lain.

Sebab, kalah ketika sedang berjuang itu lebih baik ketimbang kalah saat sedang diam.

Biofile
  • Pendidikan Formal
    • Universitas Padjadjaran
      SH
      1998 - 2000
    • Universitas Indonesia
      M.Kn
      2005 - 2006
    • Universitas Gadjah Mada
      Magister Hukum
      2013 - 2015
  • Pendidikan Tidak Formal
    • Program Notariat
      Program Notariat Universitas Indonesia
      1998 - 2000
IKUTI MEDIA SOSIAL KAMI

Follow media sosial kami untuk mendapatkan produk terbaik, informasi, pengalaman menarik dan inspiratif.

SEKILAS

Kami adalah e-commerce hybrid, sebuah rumah untuk memasarkan produk UMKM Indonesia kualitas terbaik. Nikmati produk kuliner, fashion, kriya, minuman herbal, dan jasa. Juga rubrik Inspiring Life, Jurnal & Peraturan, Berita.

Copyright © 2025 | Powered by Bumi Alumni