Bumialumni.com - Peran penting dimainkan Eddy Damian
dalam kehidupan intelektual Indonesia. Misalnya sebagai pakar dan guru
besar dengan spesialisasi hukum hak kekayaan intelektual dan secara spesifik
menguasai hukum hak cipta. Ia juga
mendirikan penerbitan buku ilmiah dengan bendera PT Alumni. Keduanya saling
berhubungan dan mengisi perjalanan hidup Eddy hingga di usia 80 tahun.
Eddy Damian, anak sulung pasangan Hendrokusumo
(Liem Jong Djien) dan Ikawati. Ayahnya pedagang besar di Semarang yang memiliki
toko mobil dan onderdil. Ada dua orang yang memberikan pengaruh pada Eddy.
Ayahnya dan pakar hukum Mochtar Kusumaatmadja yang juga dosen ilmu hukum yang
membimbingnya sejak S1 hingga S3.
"Mereka adalah bapak biologis dan bapak
intelektual bagi Eddy Damian yang memberi arah dan jadi mercu suar dalam
hidupnya,” tulis Prof. Drs Jacob Sumardjo, Budayawan dan Guru Besar Institut
ilmu Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dalam Buku Dinamika Hukum Dalam
Pembangunan Berkelanjutan, kerja sama Fakultas Hukum Unpad dan Penerbit PT
Alumni.
Sebagai anak sulung dari empat bersaudara,
Eddy yang lahir 13 September 1937 ini sering diajak ayahnya dalam berbagai perjalanan
bisnis ke berbagai kota di Jawa tengah. Talenta bisnis dari sang ayah kelak ia
wujudkan dengan membuka penerbitan PT Alumni.
Eddy mengawali pendidikan formal di sekolah
rakyat saat pendudukan Jepang pada 1943 di Solo. Tahun 1948, keluarganya mengungsi
ke Semarang dan mendapat pendidikan dasar di Herstel School Don Bosco yang
bahasa pengantarnya bahasa Belanda danm lulus pada 1952. Kala itu, semua anak
di bangku SD menjalani pendidikan hampir 10 tahun.
Bersekolah di Don Bosco yang merupakan sekolah
Belanda membuatnya fasih berbahasa Belanda sejak kecil. Di kemudian hari, hal
itu membuat dirinya dikirim Prof Mochtar untuk study banding ke Belgia
1972-1974 pada Rijksuniversiteit, Rechtgeleeheid Faculteit di Kota Gent. Di
sana ia sebagai peneliti hukum ekonomi eropa dan organisasi international
regional Europeesche Economie Gemeens-chap (EEG).
Setamat SD Don Bosco Eddy melanjutkan sekolah
ke Jakarta, Middlebare Uitgebreid Lager Onderwys (MULO/SMP) Canisius College di
Jalan Menteng 1952-1955. Ia hidup di
asrama yang dikelola Romo Ordo Jesuit.
Semangat Nasionalisme
Lulus SMP dia melanjutkan ke SMA di Loyola Semarang dan lulus pada 1958 di jurusan sosial. Tamat SMA dia berinisiatif kuliah di Universitas Parahyangan mengambil jurusan hukum. "Keputusannya ini mengejutkan keluarganya. Apakah memilih kuliah hukum karena mau jadi PNS? Ayahnya wanti-wanti jangan sampai jadi jaksa. Ayahnya lebih suka Eddy jadi pengacara. Profesi ini pada 1950an masih langka dan memiliki posisi terhormat di masyarakat. Eddy menjawab ia masuk hukum ingin mengabdi sebagai dosen,” tulis Jacob. Pilihan Eddy mengambil fakultas hukum salah satunya disebabkan keinginan menguak rahasia kebenaran atas perlakuan yang tidak adil terhadap keluarganya. Saat ini, ayah Eddy menerima hibah sebidang tanah di Jalan Achmad Yani, Semarang dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) melalui Walikota Hadisubeno sebagai balas jasa atas dukungannya terhadap PNI.
Di atas lahan itu, ayah Eddy kemudian membangun sebuah rumah. Namun saat jaman pemerintahan Bung Karno, kepemilikan tanahnya dipermasalahkan. Tanah dan rumah tersebut kemudian disita dan diserahkan ke front nasional. Menimba ilmu hukum di Unpar, Eddy merupakan rekan satu angkatan Prof. Dr. Arief Sidharta dan Prof. Dr. Ateng Syafrudin. Ia lulus pada 1964. Di Unpar inilah, ia bertemu Mochtar Kusumaatmadja yang yang saat itu menjadi dosen hukum internasional dan filsafat.
Di samping mengajar di Unpar, Mochtar juga menjadi pengajar di Unpad dan beberapa pendidikan tinggi sipil, militer dan kepolisian. Mochtar Kusumaatmadja, yang dikenal merupakan Menteri Luar Negeri di era Soeharto, inilah yang berperan dalam perjalan hidup Eddy. Eddy mengenang, mata kuliah yang diampu Mochtar, Filsafat Hukum dan Pengantar Hukum. Bagi sebagian mahasiswa S1, mata kuliah ini termasuk berat apalagi diajar Mochtar yang memiliki disiplin tinggi. Saat ia dipilih Mochtar ikut studi ke Belgia memunculkan sedikit kontroversi. Ada beberapa pihak yang mempertanyakan pilihan Mochtar jatuh kepada dirinya sebagai warga keturunan Tionghoa.
"Tidak penting orang Sunda atau dari suku apa yang penting dia kompeten. Saya anggap Eddy kompeten karena menguasai ilmu hukum internasional dan dapat berbahasa Belanda dengan fasih,” kata Mochtar kala itu. Eddy menyelesaikan studinya di Unpar pada 1964 salah satu pengujinya Mochtar dan Prof Mr Sudirman Kartohadiprodjo selaku dekan Fakultas Hukum Unpar. Lulus kuliah, Eddy ditawari menjadi asisten Mochtar. Ia menyanggupi dengan syarat menikah dulu. Lalu ia minta izin membuka usaha kecil-kecilan agar dapat nafkah tambahan dari gaji PNS.
Eddy mendapat ide dari Mochtar yang juga mendirikan Law Firm Mochtar, Keruwin & Komar Law Office (MKK). Bersama istrinya, Conny Indrawahyanti, ia kemudian mendirikan PT Alumni, usaha penerbitan yang menstensil diktat kuliah, dengan modal pinjam dari ayah mertuanya. Modal ia gunakan untuk membeli mesin ketik merk Olympia dan mesin stensil Rex Rotary buatan Denmark. Kedua benda itu sampai kini masih disimpan di ruang kantor PT Alumni di Jalan Bukit Pakar Timur II No 109 Dago Pakar, Bandung. (*)
Follow media sosial kami untuk mendapatkan produk terbaik, informasi, pengalaman menarik dan inspiratif.
Kami adalah e-commerce hybrid, sebuah rumah untuk memasarkan produk UMKM Indonesia kualitas terbaik. Nikmati produk kuliner, fashion, kriya, minuman herbal, dan jasa. Juga rubrik Inspiring Life, Jurnal & Peraturan, Berita.