Bumialumni.com – Barangkali hanya benda yang tak punya ingatan atas kenangan, dan tak bisa merefleksikan pengalaman. Kita mahfum, bahwa pengalaman, selain menjadi guru terbaik, juga bisa membuat diri kita sangat berarti, entah darimana pengalaman itu berasal. Kali ini, pengalaman yang inspiratif itu datang dari Kang Asep Sulaiman. Kisah ini akan membawa kita dari titik nol beranjak menuju ribuan kilometer lalu pulang ke rumah, sebab jarak adalah rindu yang indah. Dan teks berikut ini adalah kisahnya.
(Lanskap belakang rumah Kang Asep Sulaiman di kampung halaman)
Filosofi Hidup
Aku suka mendaki gunung dan berkamping, karena naik gunung dapat mengajariku bahwa tidak semua hal di dunia bisa dijelaskan secara rasional. Aku suka mendaki gunung karena membuatku merasa kecil. Naik gunung hanya sebuah momentum dari suatu perjalan, setelah mencapainya, kita kembali ke realitas yang sebenarnya dimana kita hidup, hidup yang penuh makna dan rasa syukur.
Hal yang selalu dirasakan saat mencapai puncak gunung adalah pemandangan horisan, lanskap bentang alam, dan cakrawala langit yang seolah menyentuh bumi. Dalam ketinggiannya, gunung memberi ruang bagi makhluk hidup dengan intervensi yang minimum dari aktivitas ekploitatif manusia. Dari ketinggian puncak gunung, aku bisa melihat kehidupan yang harmoni, menyatunya alam dan lingkungan, tak ada yang terlihat besar, segala tampak kecil, membuat satu kesatuan dalam relief kehidupan.
(Puncak Gunung Ciremai)
Dalam keluasan, aku bisa melihat betapa beragamnya penghuni hutan, meski begitu, mereka saling bergantung satu sama lain. Kebahagiaan naik gunung tak sekadar saat tiba puncak, proses menapaki jalur yang terjal dan curam adalah bagian terbaik dari seluruh proses bahagia.
Sejak SMA aku telah menyukai aktivitas mendaki gunung hingga usia 60. Mendaki gunung bisa disebut kegiatan ritual tahunan, meskipun di senja usia ini, gunung yang akan didaki tak terlalu tinggi, tapi persiapan tatap harus dilakukan sebaik mungkin: latihan fisik, mental, dan logistik. Mendaki gunung perlu kenyamanan agar menyenangkan, karena itulah dibutuhkan persiapan yang baik tentang teknis seperti memahami letak, estimasi waktu, penentuan titik awal, perencanaan jalur, tujuan pendakian, pengetahuan tentang gunung yang dituju, peralatan, dan perbekalan.
Hal spiritual berupa suasana batin juga perlu disiapkan agar mendaki gunung dengan ceria, dengan begitu, bisa menikmati langkah demi langkah kaki. “Enjoy the process, love what you do.” Sambil melangkah, aku melakukan pengecekan rute, arah, dan laju berjalan untuk menjaga stamina sesuai kemampuan diri. Perlu istirahat sebentar tapi terus bergerak untuk menjaga stamina dan panas tubuh.
Di gunung, aku bisa lebih menghayati betapa indah ciptaan Tuhan, dengan oksigen murni, tiap hela nafas seolah bertasbih pada Sang Pemilik Semesta. Saat tiba di puncak, rasa syukur meluncur cepat. Semacam ada kepuasan diri berada di puncak gunung. Pemandangan landskap bentang alam seolah melunasi segala lelah, letih tubuh terbayar sudah, bahagia menjadi puncak capaian jiwa yang paripurna.
Dari atas gunung, segala sesuatu terlihat kecil, begitu pula aku sendiri, yang bukan apa-apa ditelan hamparan langit, merangkak di punggung gunung. Situasi batin campur aduk, haru, bangga, puas, sepi, menjalar bagai hening. Tapi aku harus terus bergerak atau dikepung dingin, sambil berfikir tentang apa yang harus dilakukan berikutnya. Hidup juga begitu. Terus bergerak. Perjalanan pulang terlah menanti, jauh dan menguras lebih banyak tenaga.
Masa Kecil sampai SMA
Lahir di sebuah kampung pinggiran kota Garut dibantu seorang paraji (dukun beranak). Hari, tanggal, dan tahun kelahiran hanya di catat di papan kayu. Ayah saya seorang petani, sambil membuka usaha penggemukan kerbau. Ibu membuka warung kelontong sambil usaha sampingan kredit pakaian dan peralatan rumah tangga. Alhamdulillah dari usaha Ayah dan Ibu itu, kami 6 bersaudara dapat melanjutkan sekolah sampai ke pergutuan tinggi tentu dengan pola hidup hemat dan salling membantu.
Dari umur 3 tahun saya berpisah dengan bapak dan ibu kandung untuk menemani nenek yang pindah ke sebuah desa di dekat pantai selatan, Pameungpeuk, namanya. Berjarak sekitar 80 km dari Kota Gatut, sekolah SD dan SMP ditempuh di kampung kecil yang belum memiliki listrik. Saat SD sampai kelas 3 kami tak memiliki buku karena belum tersedia. Sebagai alat mencatat kami gunakan sabak (lempengan batu) dan gerip untuk menulis.
(Saat lulus geologi Unpad)
Selama bermain dan sekolah, kami terbiasa tak pakai alas kaki, alias nyeker. Saat upacara 17 Agustus, sebagaian kami pakai sepatu, saat pulang sekolah sepatu kami lepas karena terasa panas di kaki. Di tempat kami tak ada siaran televisi karena tak ada sinyalnya, mungkin memang tak terpasang antena pemancar, sepertinya bukan daerah prioritas. Melihat televise setelah saya SMA. Orang menyebutnya “udik”. Meski begitu, zaman mempunyai cara untuk menikmati hidup di kampung. Anak-anak begitu gembira dengan permainan-permainan kreatif, sebab itulah perkawanan kami terjaga erat sampai sekarang.
Setelah lulus SMP, saya melanjutkan ke SMA di Kota Garut, tinggal bersama Ayah dan Ibu. Tinggal lama di pedalaman desa memengaruhi asimilasi saya saat tinggal di kota. Membutuhkan lebih dari 6 bulan untuk penyesuaian, dan itu berdampak pada prestasi sekolah meski di kelas 2 nilai akademik mulai meningkat.
Menjelang lulus SMA, saya tak tahu harus melanjutkan kemana, ingin jadi apa, menekuni profesi apa. Tak ada hal yang bisa saya tuju, hanya ingin berkuliah di kampus negeri, itu saja, itupun syarat dari orang tua karena pertimbangan biaya. Saya tak punya role model karena keluarga dekat juga belum ada yang masuk ke jenjang perguruan tinggi, bahkan pendidikan tingkat sekolah umum. Saya adalah orang pertama yang masuk ke sekolah umum dan perguruan tinggi, lainnya masuk ke pesantren atau sekolah berbasis agama, lalu jadi pendidik (formal dan informal), pedagang, dan bertani. Budaya kampunya yang sederhana menyerap dalam diri, dalam makna, tak banyak yang dipikirkan untuk masa depan, istilah sundanya “kumaha engke wae, lah”. Tak mengikuti kursus atau bimbingan belajar apapun untuk persiapan ke perguruan tinggi. Belajar seadanya. Selain bersekolah, saya punya kegemaran membantu ayah di sawah, sambil bermain dengan teman sebaya.
Kuliah di Bandung
Setelah lulus SMA saya bersama teman-teman lain pergi ke Bandung, membeli formulir, lalul mendaftar di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Pilihan fakultas dan jurusan yang diambil pun hanya mengikuti kawan lain, tak ada pilihan tertentu. Setelah itu, kembali pulang ke kampung halaman. Satu hari menjelang tes, pergi ke Bandung, dan ini pengalaman pertama ke Bandung sendiri. Tidur dengan menumpang di rumah saudara, kemudian meminta diantar ke lokasi tes.
Saya diterima di Jurusan Geologi Universitas Padjadjaran, tak mengerti sedikitpun tentang geologi. Registrasi saya lakukan di hari terakhir, syahdan, saya resmi jadi mahasiswa baru Jurusan Geologi Unpad. Di tahun 1978, gejolak politik negeri memengaruhi perkuliahan. Demonstrasi mahasiswa terjadi besar-besaran menentang program NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). Kampus diduduki tentara, perkuliahan mundur lebih dari satu semester. Setelah itu, saya baru mendapatkan sedikit gambaran tentang ilmu geologi, termasuk desas-desus kabar bahwa kuliah di jurusan geologi akan lama lulus, paling cepat adalah 7 tahun. Mental saya terimbas, dan mulai tak menyukai jurusan geologi, ingin berpindah ke jurusan psikologi. Namun orang tua melarang dengan alasan akan membuang waktu dan biaya.
Alhamdulillah, selama kuliah, saya tak mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Lulus dengan judicium cumlaude menempuh waktu 4,5 tahun. Saat itu tercatat sebagai waktu tempuh kuliah tercepat dalam 24 tahun Jurusan Geologi Unpad, bahkan melewati satu angkatan yaitu angkatan 77.
Selain kuliah, saya juga aktif di kegiatan organisasi mahasiswa tingkat jurusan dan fakultas. Di Himpunan Mahasiswa Geologi pernah menjadi ketua, editor Majalah Profil Geologi, Sekretaris Badan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas. Berpacaran? Belum terpikirkan waktu itu.
(Saat menjadi geologis muda Exxonmobil Oil)
Ada cerita yang membanggakan untuk saya. Saat kuliah tingkat empat, saya lolos tes beasiswa sekolah ke Amerika Serikat yang diadakan oleh Konsorsium Badan Kerjasama Kontraktor Asing (Pertamina). Dipanggil untuk karantina selama tiga bulan di Jakarta mengikuti training dan pelatihan bahasa, termasuk belajar budaya Amerika Serikat. Rupanya itu adalah program untuk tingkat bachelor. Lalu saya menghadap ke pimpinan konsorsium menjelaskan bahwa dalam enam bulam lagi akan menyelesaikan studi sarjana di Fakultas Geologi Unpad sehingga saya meminta untuk menunda ikut pelatihan dalam enam bulan ke depan, dan programnya untuk jenjang magister.
Pimpinan konsorsium terdiam lalu meminta stafnya membawakan berkas catatan tentang saya, setelah membaca ia mengatakan bahwa saat ini sedang tidak mensponsori tingkat magister, dan mengatakan sayang sekali kalau saya ikut dalam program beasiswa bachelor. Katanya, “…selesaikan saja kuliah di Unpad, jika sudah lulus, datang lagi menghadap saya.”
Dengan latar belakang pengalaman kehidupan orang kampung bau lisung itulah saya meniti karir dengan semangat tinggi tapi selalu ingat diri, berusaha mandiri. Hanya dengan kerja keras yang persistent dan konsisten, saya bisa mencapai hal yang diinginkan, fokus dalam melangkah dan terus belajar serta mensyukuri dan menikmati kemajuan yang dicapai.
Karir dan Keluarga: Mengikuti Guratan Nasib
Setelah dinyatakan lulus, saya ditawarkan oleh Jurusan Geologi Unpad untuk bergabung menjadi tenaga pengajar. Dengan berucap terima kasih, saya sampaikan akan mempertimbangkannya. Saat itu sebetulnya saya memikirkan tawaran dari pimpinan konsorsium BKKA Pertamina agar menemuinya setelah saya lulus. Pergilah saya ke Jakarta, menemui pimpinan konsorsium lalu melaporkan tentang kelulusan saya dan hasil ujian sidang sarjana. BKKA Pertamina kemudian menunjuk Mobil Oil Indonesia untuk mensponsori beasiswa program magister saya di Amerika Serikat dengan syarat nanti setelah lulus master saya harus mengabdi untuk Indonesia. Dua minggu setelah mengirimkan lamaran, saya mendaptkan offering letter dari Mobil Oil, dan selanjutnya secara resmi tercatat sebagai pegawai baru Mobil Oil Indonesia.
(Di kantor Exxonmobil Oil Jakarta)
Mulailah perjalanan karier dan kehidupan baru sebagai staf muda di perusahaan minyak asing, tak terpikirkan bahwa saya akan bekerja dan meniti karir di sebuah foreign multinational oil company. Setelah diterima kerja di Mobil Oil, Tuhan menjawab ikhtiar saya untuk berkeluarga. Setelah satu tahun berpacaran, saya menyuntingnya lalu menikah di tahun 1985. Dari belahan jiwa saya itu, saya dikaruniai dua anak perempuan. Kini usia perkawinan kami 37 tahun, sepanjang memengaruhi bahtera keluarga, kami tak pernah mengalami midlife cyclus crisis karena saya hanya fokus pada dua hal: pekerjaan dan keluarga.
Belajar dan Beradaptasi dengan Korporasi Multinasional
Sejak masa kuliah dulu saya tergolong orang yang rajin membaca dan kebetulan setelah masuk bekerja di kantor Mobil Oil ada perpustakaan yang bagus dengan buku-bukunya, dan video yang lengkap dan up to date untuk bidang migas mulai dari teknik, bisnis, dan manajemen. Dalam 5 tahun berkantor di Jakarta, hampir semua buku dan video yang ada di perpustakaan pernah saya pinjam untuk dibaca. Di samping itu saya juga diberikan berbagai pelatihan sebagai fresh graduate. Dengan rajin membaca maka saya merasa mudah mengikuti pelatihan yang diberikan baik di dalam maupun di luar negeri karena sebagian besar materi training ada dalam buku-buku yang pernah saya baca di perpustakaan kantor.
Selama bekerja, saya pun punya kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal di Jakarta dan keluarga besar. Saya aktif di kepengurusan masjid, ikut mendirikan yayasan sosial keagamaan, sebagai Ketua Peningkatan Ekonomi Ummat pada Yayasan Khasanah Kebajikan, dengan membuka sentra sembako dan menjadikan para dhuafa di sekitar lingkungan kompleks perumahan kami tinggal, untuk belajar berdagang kecil-kecilan, dengan modal barang dagangan diambil dari yayasan.
Middle Stage Carrier
Pada tahun ke-5, saya dikirim oleh Mobil Oil Indonesia ke Texas, pada awalnya untuk job training di Mobil Research and Development Center, Dallas, sebuah anak perusahaan yang menjadi think tank-nya Mobil Oil dalam pengembangan teknologi, training, dan melakukan aplikasi diseminasi riset terapan sebelum fully commercial diterapkan di seluruh afiliasi Mobil Oil dunia. Di sini saya bekerja dan belajar bersama para ahli bertaraf global experts. Saya satu-satunya wakil dari kantor Mobil Oil Jakarta/Asia untuk bidang geoscience, di tempat ini hanya ada beberapa orang saja yang datang dari affiliate di luar Amerika Serikat. Pada saat awal bekerja di Amerika Serikat, saya selalu mendapat tantangan dari para kolega yang sekaligus sebagai kompetitor. Setiap saya memiliki ide dan gagasan baru, selalu mendapat reaksi dan pertanyaan njelimet, bantahan yang sangat detail dan menguras stamina. Mereka awalnya memperlakukan saya sebagai trainee yang datang dari negara berkembang dimana ide dan gagasannya dianggap belum legitimate. Dengan segenap semangat, saya harus berfikir agar bisa menerangkan dan membuktikan bahwa ide dan gagasan saya adalah setara atau lebih baik dari pada kompetitor/kolega.
Setelah bekerja lebih dari 1 tahun, saya mulai terbiasa terhadap tantangan. Setelah kompetitor dan para kolega menilai bahwa secara kapasitas bisa setara. Malah pada saat dipanggil pulang ke Indonesia, Mobil Research menahan kepulangan saya karena telah masuk dalam tim inti yang sedang bekerja untuk melakukan pekerjaan penerapan riset baru di wilayah North Sea, Norwegia dan Amerika Serikat.
Selama tinggal di Dallas, saya bersama teman-teman muslim Dallas membentuk grup pengajian bagi para orang tua, juga memberikan pengajaran agama kepada anak-anak. Saya ditunjuk menjadi ketua Pengajian Masyarakat Muslim di Greater Dallas-Fortworth, dengan tugas menyelenggarakan pengajian minimal setiap bulan, dan setiap minggu di bulan Ramadan, menyelenggarakan perayaan hari besar Islam. Kami melakukan pengumpulan zakat mal dan zakat fitrah, yang sebagian besar disalurkan di tanah air. Dalam mencari penceramah, saya berkoordinasi dengan masjid lokal (saat itu hanya ada 1 masjid besar di Dallas), namun belakangan, di daerah tempat saya tinggal, kami bersama komunitas lain menyewa pertokoan/apartemen kosong untuk dijadikan musala dan sunday school untuk anak-anak.
Pada tahun 1999, Mobil Oil dan Exxon melakukan merger, kemudian saya ditugaskan ke Group Specialized Global Resources Team (yang terdiri dari para highly skills professional dari berbagai bidang) dan dipindahkan ke kantor Houston. Saya ditugaskan untuk bekerja pada special task force dalam evaluasi peluang di seluruh Kanada dimana perusahaan akan menentukan apakah masih akan menetap atau hengkang. Setelah proyek Kanada selesai, saya mengerjakan proyek-proyek di sub-Sahara, Afrika (Equatorial Guinea, Cameroon, Sao Tome, dan Nigeria). Selain mengerjakan evaluasi proyek-proyek strategis, saya mengemban tugas dalam mengelola karier dan pengembangan para profesional di bidang geoscience di seluruh dunia. Ada sekitar 1.600 profesional bidang geosains (40% bergelar Ph.d, dan 60% magister) di seluruh dunia yang dibagi menjadi 12 kelompok spesialisasi. Saya bersama 4 orang anggota tim lainnya diberikan wewenang untuk melakukan oversight sekitar 300 orang yang masuk dalam 2 kelompok subspesialis. Kami melakukan sertifikasi dan kualifikasi dari setiap individu, setelah itu membuat design carieer development program, merencanakan training yang dibutuhkan dalam 5 tahun ke depan, serta penempatan pekerjaan untuk mendukung karier para staf tersebut.
Mature Stage Carrier
Tahun 2001 saya meminta ke perusahaan agar bisa bertugas di wilayah Asia Pasifik yang saat itu episentrum aktivitasnya dipusatkan di Australia. Pada akhir tahun, saya hijrah ke Melbourne, Australia bekerja sebagai Asia Pacific Bussiness Development Lead yang meliputi Australia, New Zealand, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, Myanmar India, dan China. Dari hasil kerja tim kami, korporasi mengakuisisi 15 blok migas baru di kawasan Asia Pasifik.
Setelah beberapa lama di Melbourne, tahun 2008, dengan perasaan gembira pulang kampung, ditugaskan kembali ke Indonesia untuk melakukan leadership role di Indonesia. Tugas utama yang diberikan adalah memimpin kegiatan eksplorasi laut dalam serta memberikan kepemimpinan pengembangan proyek lapangan minyak Cepu dengan target produksi 185 KBD (185 ribu barel oli per hari).
(Saat bertugas di Australia)
Tahun 2015, kegiatan eksplorasi laut dalam dan unconvensional exploration telah usai, mengeluarkan biaya lebih dari Rp3 triliun tanpa menemukan cadangan baru yang komersial, semua kegiatan dibiayai oleh korporasi, tak ada yang dibebankan kepada pemerintah Indonesia (non-cost recovery). Semua data, aset, dan konsesi dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Berbarengan dengan itu, pada akhir 2015, proyek pengembangan minyak Cepu, dengan biaya lebih dari Rp57 triliun telah diselesaikan. Pada puncaknya, proyek ini mempekerjakan lebih dari 6.500 pegawai dengan kapasitas produksi di atas 200.000 barel per hari (sekarang 22 ribu barel per hari), volume ini merupakan 25% lebih dari total produksi minyak Indonesia (2016).
Selain eksekusi proyek-proyek besar, saya juga diberi beberapa amanah seperti, ExxonMobil's Country Representative 24/7, face of the Company & EM brand ambassador in the country and lead and oversight country external affairs; lead negoisator for East Natuna PSC contact dispute resolution with government of Indonesia; coaching senior executive development yang akan diorbitkan di tingkat korporasi; champion in building global geoscience workforce; chairman for Indonesia PBA chapter (partner for new beginning), an initiative formed by President Obama and funded by major USA Companies (Exxon Mobil, Coca-Cola, Dow Chemical) to strengthen relationship between Indonesia and USA; Work program focus in helping on: Women Empowerment, Education, Microfinance Assistance, and Teacher Development; the advisor for the initiative include Prof. Emil Salim, Anies Baswedan, Prof. Azyumadri Azra, Tri Mumpuni, and other Indonesian leaders.
(Sub Sahara, Afrika)
Saya juga berhasil meyakinkan korporasi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu sumber pencarian (pipeline) profesional yang berbakat menjadi global resources di bidang geosains. Persyaratan minimal untuk menjadi seorang pelatih geosains di EM minimal lulusan S-2 dari kampus yang memiliki reputasi global. Oleh karena itu saya mengajukan program rekruitmen lulusan S-1 terbaik dari Indonesia untuk dikirim mengikuti pendidikan program magister di universitas pilihan di USA. Usulan saya diterima korporasi, dan dalam 5 tahun, EM mengirim lulusan terbaik dari Unpad, ITB, UGM, UPN, Trisakti ke jenjang program magister, bahkan ada yang sampai program doktoral (Ph.D) di USA.
Early Exit, Early Retirement
Saya merasa tugas saya di EM telah usai, saya berkontemplasi, merenungi berkah perjalanan karier selama 32 tahun lebih, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri di perusahaan minyak. Ini di luar kebiasaan saya dimana saat memutuskan berhenti bekerja, saya tak punya rencana apa setelahnya. Hanya ingin berhenti saja, berhenti dari hal-hal rutin yang sudah puluhan tahun dijalani. Saya mengajukan early retirement, meski awalnya tak disetujui oleh perusahaan. Saya pensiun dini dengan posisi terakhir sebagai senior executive.
Alhamdulilah, perjalanan karier telah paripurna dengan baik, saya bisa berkembang sesuai dengan bakat dan kemampuan. Telah terpenuhi janji pada diri sendiri. Walaupun karier dan peran saya sangat kecil dibanding dengan orang-orang hebat, namun saya bangga dan bersyukur sebagai anak petani dari kampung dapat bersaing dan berkarier di kancah nasional, regional maupun global. Saya telah melewati puncak karier sebagai reputable technical professional dan senior management di perusahaan minyak swasta asing terbesar di dunia saat itu.
Merasa bahagia bisa ikut andil memberi sumbangsih dalam pembangunan proyek strategis nasional lapangan minyak Cepu dengan kapasitas produksi lebih dari 200 ribu barel per hari. Saya juga aktif dalam kegiatan pengembangan ilmu di industri migas tanah air maupun di ranah global.
Jutaan syukur pada Tuhan atas berkah yang Dia berikan. Allah Swt lah penuntun jalan dan memberikan segalanya pada saya. Peran ikhtiar dari orang tua terkasih, kepada guru, istri, dan orang-orang terbaik di sekeliling saya telah melancarkan perjalanan hidup ini. Karir saya secara formal berakhir, tapi tidak untuk kehidupan.
Post Formal Activities
Setelah berhenti bekerja, saatnya menjalani hidup on my own terms, saya adalah perencana atas apa yang akan saya lakukan kemudian. Beberapa tawaran pekerjaan sempat datang, tapi saya memilih untuk rehat. Saat ini saya bekerja untuk melayani diri sendiri, melakukan hal-hal yang belum sempat saya lakukan karena kesibukan di pekerjaan sebelumnya. Masih ada buku-buku tersusun bisu di perpustakaan yang belum sempat terbaca, atau tempat-tempat yang oleh jiwa saya harus dikunjungi, atau belajar sesuatu yang menarik.
Sesekali saya diundang untuk memberikan kuliah tentang migas di program magister Universitas Pertahanan dan geologi Unpad, atau diminta memberikan masukan untuk riset Direktorat Geologi Kelautan, termasuk menjadi konsultan freelancer kepada rekan-rekan pengusaha nasional tentang tata kelola bidang energi tanpa terlibat dalam kegiatan operasional.
Epilog
Dunia tak hanya digerakkan oleh dorongan kuat para pahlawan dan orang orang besar, tetapi juga digerakkan oleh kumpulan dorongan kecil dari tiap individu yang jujur dan penuh semangat. Boleh jadi, apa yang telah saya jalani ini sangat kecil, tapi saya berusaha melakukannya dengan sepenuh hati, mencurahkan segala potensi, paling tidak, saya telah berusaha menjadi role model bagi keluarga saya sendiri.
Hidup selalu memiliki jalannya sendiri, lalu merekam peristiwa menarik. Termasuk dalam kisah ini. Setelah pindah ke Amerika Serikat, dengan dorongan penasaran ingin merasakan kuliah di sana, saya semapt mengajukan ke perusahaan untuk bisa mengambil program doktoral, tapi atasan justu menertawakannya. Katanya, “Kamu untuk apa buang-buang waktu hanya mencari gelar.” Lalu dia kembali bertanya, “Looks how many Ph.D personnel under your team? You can measure and compare your capabilities with them. Do you still need a Ph.D degree? You have got your Ph.D degree already!”
(Bersama Menlu AS, Hillary Clinton, 2013 di Bali)
Saya memiliki obsesi untuk bisa merasakan kuliah di kampus Amerika Serikat. Akhirnya disetujui untuk berkuliah program manajemen lalu mengikuti kuliah program Enginering Management sambil bekerja. Senang sekali bisa merasakan jadi mahasiswa di Amerika Serikat.
Follow media sosial kami untuk mendapatkan produk terbaik, informasi, pengalaman menarik dan inspiratif.
Kami adalah e-commerce hybrid, sebuah rumah untuk memasarkan produk UMKM Indonesia kualitas terbaik. Nikmati produk kuliner, fashion, kriya, minuman herbal, dan jasa. Juga rubrik Inspiring Life, Jurnal & Peraturan, Berita.